Pariwisata inklusif berbasis kearifan lokal adalah pendekatan pengembangan wisata yang tidak hanya menonjolkan potensi alam dan budaya, tetapi juga memastikan semua pihak dapat berpartisipasi dan merasakan manfaatnya, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, lansia, maupun masyarakat adat.
Berikut kerangka dasarnya:
Prinsip Utama
Keterlibatan masyarakat lokal. Warga menjadi aktor utama, bukan sekadar objek. Mereka dilibatkan dalam perencanaan, pengelolaan, hingga evaluasi.
Aksesibilitas untuk semua. Fasilitas wisata ramah disabilitas, ramah anak, dan ramah lansia.
Pelestarian Kearifan Lokal. Nilai, tradisi, seni, arsitektur, dan praktik adat dijadikan fondasi, bukan sekadar hiasan.
Keadilan Ekonomi. Hasil pariwisata dibagi secara adil, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Keberlanjutan. Menjaga keseimbangan antara ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Peran Kearifan Lokal
Arsitektur & Infrastruktur. Menggunakan desain tradisional (misalnya rumah adat, joglo, lumbung) yang disesuaikan dengan kebutuhan modern dan aksesibilitas.
Ritual & Tradisi. Upacara adat, kesenian, dan kuliner lokal menjadi daya tarik utama.
Ekologi Lokal. Sistem pertanian, pengelolaan air, atau konservasi berbasis adat dijadikan praktik wisata edukatif.
Nilai Sosial. Gotong royong, musyawarah, dan solidaritas menjadi landasan tata kelola wisata.
Contoh Praktik
Desa Wisata Nglanggeran (Gunungkidul): mengembangkan wisata berbasis budaya dan alam dengan melibatkan masyarakat lokal, meski masih ada tantangan dalam menjaga keaslian bangunan tradisional.
Desa Bengkala (Bali): dikenal sebagai “Desa Kolok” (desa tuli), berhasil mengembangkan wisata berbasis kearifan lokal dengan melibatkan penyandang disabilitas sebagai pemandu dan pelaku wisata.
Jadi, pariwisata inklusif berbasis kearifan lokal bukan hanya soal “wisata ramah semua orang”, tetapi juga wisata yang tumbuh dari akar budaya masyarakat, adil secara ekonomi, dan lestari secara lingkungan.